Kasus-kasus paru di Indonesia umumnya berkisar antara TB, asma, kanker paru, dan pneumonia. Empat penyakit ini sangat lazim ditemui di rumah-rumah sakit di Indonesia, masyarakat awam pun relatif familiar dengan penyakit di atas. Namun sebenarnya ada salah satu penyakit paru yang kejadiannya tidak terlalu sering namun kerap terjadi karena terdapat penyakit paru lain yang mendasarinya. Dialah spektrum penyakit infeksi paru akibat infeksi jamur, yakni aspergilosis. Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger, kadang-kadang bisa juga akibat Aspergillus flavus dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Penyakit jamur yang muncul dengan berbagai sindroma klinis yang disebabkan oleh spesies Aspergillus. Penderita dengan penyakit paru kronis (terutama asthma, juga penyakit gangguan paru kronis atau “cystic fibrosis”) dan penderita yang alergi terhadap jamur ini dapat menyebabkan kerusakan bronchus dan penyumbatan bronchus intermiten. Keadaan ini disebut sebagai allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Kolonisasi saprophytic endobronchial pada penderita dengan pelebaran bronchus atau bronkiektasi dapat menimbulkan gumpalan hyphae, dan massa hyphae yang besar mengisi rongga-rongga yang sebelumnya sudah ada (berupa bola jamur atau aspergilloma). Suatu spesies Aspergillus dapat muncul bercampur dengan organisme lain dalam abses bakteriil paru-paru atau pada empiema. Aspergillosis yang invasif dapat terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi imunosupresif atau sitotoksik; ia dapat menyebar ke otak, ginjal dan organ lain dan seringkali fatal. Invasi kedalam pembuluh darah berupa trombosis dan menyebabkan infark adalah ciri dari infeksi jamur ini pada pasien dengan kekebalan rendah. Organisme ini dapat menginfeksi tempat dipasangnya katup jantung prostetik. Spesies Aspergillosis adalah penyebab paling umum dari otomikosis; jamur membuat koloni atau menyebabkan infeksi invasif pada sinus paranasal. Jamur ini tumbuh pada jenis makanan tertentu, isolat dari Aspergillus flavus (kadang juga spesies lain) bisa memproduksi aflatoksin atau mikotoksin lain; toksin ini dapat menyebabkan penyakit pada ikan dan hewan dan sangat karsinogenik pada hewan percobaan. Hubungan antara kadar aflatoksin yang tinggi pada makanan dan timbulnya kanker hepatoseluler ditemukan di Afrika dan Asia Tenggara. Diagnosis ABPA ditegakkan antara lain adanya reaksi benjolan merah di kulit jika dilakukan skarifikasi atau suntikan intradermal dengan antigen Aspergillus, adanya sumbatan bronchus yang menahun, eosinofilia, terbentuknya antibodi presipitasi serum terhadap Aspergillus, peningkatan kadar IgE dalam serum dan adanya infiltrat paru yang bersifat transien (dengan atau tanpa bronkiektasis sentral). Kolonisasi endobronkial saprofitik didiagnosa dengan kultur atau ditemukannya Aspergillus mycelia pada sputum atau pada dahak ditemukan hyphae. Serum precipitin terhadap antigen spesies Aspergillus biasanya juga muncul. Bola jamur dari paru biasanya dapat didiagnosa dengan foto toraks dan dari catatan medis. Diagnosa aspergillosis invasif ditegakkan dengan ditemukannya Mycelia Aspergillus dengan mikroskop dari jaringan yang terinfeksi; konfirmasi diagnosa dilakukan dengan kultur untuk membedakan dengan penyakit jamur lain yang gambaran histologinya mirip. Penyebab penyakit Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus adalah penyebab paling umum dari aspergillosis pada manusia, walau spesies lain dapat juga sebagai penyebab. Aspergillus fumigatus menyebabkan banyak kasus bola jamur; Aspergillus niger penyebab umum otomikosis. Distribusi Penyakit Tersebar diseluruh dunia, jarang dan bersifat sporadis, tidak ada perbedaan insidens berdasarkan ras atau jenis kelamin. Reservoir Spesies Aspergillus secara alamiah ada dimana-mana, terutama pada makanan, sayuran basi, pada sampah daun atau tumpukan kompos. Konidia biasanya terdapat di udara baik di dalam maupun di luar ruangan dan sepanjang tahun. Cara Penularan Melalui inhalasi konidia yang ada di udara. Masa Inkubasi Hitungan hari hingga minggu. Masa Penularan Tidak disebarkan dari satu orang ke orang lain. Kerentanan dan Kekebalan Spesies Aspergillus ditemukan dimana-mana, dan Aspergillosis biasanya muncul sebagai infeksi sekunder dan hal ini membuktikan bahwa orang yang sehat kebal terhadap penyakit ini. Kerentanan akan meningkat dengan pemberian terapi imunosupresif dan sitotoksik dan serangan invasif terlihat terutama pada pasien dengan netropenia yang berkepanjangan. Penderita HIV/AIDS atau penderita penyakit granulomatous kronik pada masa kanak-kanak juga peka terhadap infeksi jamur ini. Pemberantasan Cara Cara Pencegahan: Udara ruangan yang disaring dengan High Efficiency Particulate Air (HEPA) dapat menurunkan infeksi aspergillosis invasive pada penderita yang dirawat di RS terutama penderita dengan netropenia. Pengobatan spesifik: ABPA diobati dengan corticosteroid suppression dan biasanya membutuhkan terapi yang lama. Reseksi bedah, jika memungkinkan, adalah pengobatan paling tepat untuk aspergilloma. Amphotericin B (Fungizone® atau formasi lipid) IV dapat digunakan untuk infeksi jaringan bentuk invasif. Pemberian Itraconazole bermanfaat bagi penderita yang perkembangannya lebih lambat dan untuk penderita yang mempunyai masalah kekebalan. Terapi imunosupresif harus dihentikan atau dikurangi sebisa mungkin. Kolonisasi endobronkial harus diobati sedemikian rupa untuk memperbaiki drainase bronkopulmoner. Tindakan penanggulangan wabah: tidak dilakukan upaya penanggulangan wabah; penyakit sifatnya sporadis. “Diagnosis aspergilosis tidak ditegakkan secara klinis semata, namun memerlukan interpretasi radiologis dari orang yang berpengalaman,” ujar Elisna Syahrudin dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta. Di antara jutaan jamur di muka bumi ini, jenis Aspergillus sp. lah yang hobi menimbulkan infeksi paru, terutama Aspergillus fumigatus. Jamur ini merupakan jamur rumahan yang sporanya sangat banyak bertebaran di dunia, termasuk di sputum tubuh manusia yang sehat. Pada keadaan status imunologi yang rendah, pertumbuhan jamur akan merajalela dan Aspergillus mampu menginvasi arteri dan vena, sehingga lokasinya tidak hanya di sputum, namun bisa menyebar hingga ke seluruh tubuh. Aspergillus dapat menyebabkan spektrum penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi hipersensitivitas hingga bisa karena angioinvasi langsung. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru, yang menyebabkan empat sindrom penyakit, yakni Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA), Chronic Necrotizing Pneumonia Aspergillosis (CNPA), Aspergiloma, dan Aspergilosis invasif. Pada pasien yang imunokompromais aspergilosis juga dapat menyebar ke berbagai organ menyebabkan endoftalmitis, endokarditis, dan abses miokardium, ginjal, hepar, limpa, jaringan lunak, hingga tulang. ABPA merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap kolonisasi aspergilosis di daerah pohon trakeobronkial dan terjadi berkaitan dengan asma dan fibrosis kistik. Pada sinusitis alergik akibat jamur juga dapat terjadi sendiri atau bersama dengan ABPA. Adapun aspergiloma merupakan fungus ball (misetoma) yang terjadi karena terdapat kavitas di parenkim akibat penyakit paru sebelumnya. Penyakit yang mendasarinya bisa berupa TB (paling sering) atau proses infeksi dengan nekrosis, sarkoidosis, fibrosis kistik, dan bula emfisema. Fungus ball ini dapat bergerak di dalam kavitas tersebut namun tidak menginvasi dinding kavitas. Adanya fungus ball menyebabkan terjadinya hemoptisis yang berulang. CNPA merupakan proses subakut yang biasanya terdapat pada pasien imunosupresi, terutama berkaitan dengan penyakit paru sebelumnya, alkoholisme, atau terapi kortikosteroid kronik. Sering kejadian ini terlewat karena sulit dikenali hingga akhirnya terbentuk infiltrat paru dengan kavitas. Aspergilosis invasis juga terjadi karena imunosupresi dengan gejala progresif yang cepat dan fatal meliputi invasi ke pembuluh darah dengan berakibat infiltrat multifokal yang lebar dan berkavitas di sekitar pleura, menjalar hingga ke sistem saraf. Status imunosupresi yang sering menyebabkan aspergilosis invasif ialah AIDS, penyakit granulomatosa kronik, netropenia, tranplantasi sumsum tulang atau organ padat. Patofisiologi aspergilosis Empat macam klasifikasi klinis aspergilosis memiliki patofisiologi yang berbeda sesuai jenisnya. Hifa jamur aspergillus memiliki bentuk yang berbeda dibanding jamur lainnya. Dengan pewarnaan perak, akan terlihat hifanya bercabang 450 yang tumbuh pesat pada suhu tubuh normal manusia. Sistem imun alamiah akan berusaha menyingkirkan spora mulai dari lapisan mukosa dan gerakan silia pada saluran pernapasan. Selanjutnya, jika spora sudah terlanjur masuk, akan ada perlawanan dari makrofag dan netrofil melalui fagositosis. Beberapa spesies Aspergillus memproduksi metabolit toksin yang menghambat proses fagositosis ini. Kortikosteroid (terutama pada penderita asma) juga akan melemahkan proses fagositosis ini. Keadaan imunosupresi lainnya (mis. AIDS, penyakit granulomatosa kronik, imunosupresi farmakologis) juga menyebabkan disfungsi atau menurunkan jumlah netrofil. Pada pasien imunokompromais, invasi vaskular lebih sering terjadi dan menyebabkan infark, perdarahan, serta nekrosis jaringan paru. Individu dengan CNPA umumnya akan mengalami pembentukan granuloma dan konsolidasi alveolar yang di sela-selanya terdapat hifa. ABPA terjadi karena terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap A. fumigatus akibat pemakaian kortikosteroid terus menerus. Akibatnya akan terjadi produksi mukus yang berlebih karena kerusakan fungsi silia pada saluran pernapasan. Mukus ini berbentuk sumbatan yang mengandung spora A. fumigatus dan eosinofil di lumen saluran napas. Akan terjadi presipitasi antibodi IgE dan IgG melalui reaksi hipersensitivitas tipe I menyebabkan deposit kompleks imun dan sel-sel inflamasi di mukosa bronkus. Deposit ini nantinya akan menghasilkan nekrosis jaringan dan infiltrat eosinofil (reaksi hipersensitivitas tipe III) hingga membuat kerusakan dinding bronkus dan berakhir menjadi bronkiektasis. Tak jarang ditemui spora pada mukus penderita aspergilosis paru. Pada aspergilloma terdapat kolonisasi nonivasif karena di parenkim paru sudah terdapat kavitas, kista, bula, atau bronkus yang mengalami ektasis. Penyebab yang paling sering ialah tuberkulosis, sarkoidosis, dan bronkiektasis. Penyebab lainnya bisa berupa fibrosis kistik, spondilitis ankilosa, kista bronkogenik, pneumonokoniasis, sekuestrasi pulmonal, keganasan dengan kavitas, dan pneumatokel akibat sekunder pneumonia akibat Pneumocystis carinii. Secara histologis, aspergiloma merupakan gambaran dari adanya fungus ball (misetoma), yakni sebuah konglomerasi seperti massa dari hifa yang tumpang tindih dengan fibrin, debris selular, mukus, dan produk darah lainnya. Misetoma ini dapat mengalami kalsifikasi menjadi gambaran amorf atau seperti cincin dari foto toraks. Lebih dari setengan pasien aspergiloma akan mengalami peningkatan presipitin serum. CNPA atau aspergilosis semiinvasif terjadi pada status imunokompromais sedang, terutama pada penyakit yang berlangsung kronik, terutama Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Penyakit lain yang telah diketahui menjadi faktor predisposisi ialah alkoholisme, lanjut usia, dan penggunaan steroid berkepanjangan. Terbentuk kavitas secara perlahan namun progresif di lobus atas paru yang menyebabkan bronkiolitis dan bronkopneumonia. Secara radiologis konsolidasi ini akan sangat mirip dengan proses spesifik TBC. Namun secara histologis akan terlihat proliferasi organisme di ruang interalveolar, perdarahan intraalveolar, dan invasi dinding bronkial yang menyebabkan nekrosis jaringan dengan pembentukan mikoabses. Adapun aspergilosis invasif relatif umum terjadi pada pasien dengan status imunokompromais berat, terutama AIDS dan transplantasi organ. Spora jamur akan berproliferasi di saluran udara paru dan pada keadaan imunokomprais berat spora akan masuk ke pembuluh darah transbronkial menyebabkan infark hemoragik. Di area ini akan terbentuk kavitas yang mengandung sekuestrum paru yang terinfeksi, terlihat sangat mirip misetoma. Jamur ini juga dapat menyebar secara sistemik dan potensial merusak jantung, otak, ginjal, hepar, limpa, tiroid, dan saluran pencernaan. Tanda dan gejala ABPA merupakan sindrom yang sering terjadi pada pasien asma dan fibrosis kistik sehingga bermanifestasi dengan demam dan infiltrat paru yang tidak responsif dengan terapi antibakterial. Penderita mengeluh batuk produktif dengan gumpalan mukus yang dapat membentuk kerak di bronkus., kadang menyebabkan hemoptisis. ABPA juga bisa terjadi berbarengan dengan sinusitis fungal alergik, dengan gejala sinusitis di dalamnya dengan drainase sinus yang purulen. Aspergiloma bisa juga tidak menimbulkan gejala klinis tertentu selain penyakit utama yang mendasarinya, yakni TBC, sarkoidosis, atau proses nekrosis lain di paru. Pada pasien HIV aspergiloma dapat terjadi pada area yang berkista akibat infeksi pneumonia Pneumocystis carinii. Dari semua pasien aspergiloma, 40-60%nya akan mengalami hemoptisis yang masif dan mengancam nyawa. Kadang-kadang aspergiloma juga dapat menyebabkan batuk-batuk dan ddemam berkepanjangan. CNPA bermanifestasi sebagai pneumonia subakut yang tidak responsif terhadap terapi antibiotik normal, sehingga menyebabkan kavitas selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Seperti tipe aspergilosis lainnya, pasien dengan CNPA memiliki penyakit tertentu yang mendasarinya, yakni PPOK atau alkoholisme, dengan gejala yang meliputi demam, batuk, keringat malam, dan penurunan berat badan. Umumnya pasien yang menggunakan antibiotik atau antituberkulosis berkepanjangan tanpa respon pengobatan yang baik dapat menyebabkan paru menjadi rusak, nekrosis, hingga akhirnya terbentuk CNPA. Terakhir, aspergilosis invasif mengalami gejala yang sangat bervariasi, yakni demam, batuk, sesak napas, nyeri pleura, dan kadang-kadang menimbulkan hemoptisis pada pasien dengan prolong neutropenia atau keadaan imunosupresi. Transplantasi organ yang paling sering menimbulkan aspergilosis ialah transplantasi sumsum tulang. Namun kadang aspergilosis juga ditemui pada pasien transplantasi organ padat semisal paru-paru, jantung, dan hepar. Sedangkan pasien leukemia dan limfoma sangat berpotensi mendapat aspergilosis karena terinduksi kemoterapi. Pascakemoterapi akan terjadi prolong neutropenia dengan gejala demam dan infiltrat di paru meskipun sudah dibom antibiotik. Dari CT-scan dan radiografi akan terlihat pola yang khas, yakni nodul, infiltrat dengan kavitas, serta infiltrat. Secara umum gejala klinis aspergilosis tidak ada yang khas, pasien ABPA mungkin akan mengalami demam, batuk berdahak, dengan mengi pada auskultasi. Pasien dengan aspergilosis invasif dan CNPA selain mengalami demam juga sering batuk berdahak. Khusus pengidap aspergilosis invasif akan mengalami takipneu dan hipoksemia berat. Penderita aspergiloma akan mengalami gejala sesuai penyakit yang mendasarinya, namun gejala yang paling sering ialah hemoptisis. Secara umum, gejala klinis dan hasil lab semua jenis aspergilosis akan sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Manajemen aspergilosis Prinsip pengobatan aspergilosis ialah menghilangkan jamur dan sporanya dari tubuh penderita. Namun secara garis besar penatalaksanaannya dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan penyebabnya; pengobatan CNPA dan aspergilosis invasif berbeda dengan aspergiloma dan ABPA. Aspergilosis invasif merupakan penyakit sistemik akibat imunosupresi, sehingga kemunculannya bisa diantisipasi. Jika terdapat pasien HIV, leukemia, limfoma, atau pasien pascatranplantasi, perlu diberikan antijamur sebagai profilaksis. Saat ini antijamur pilihan yang dianjurkan ialah Voriconazole, sementara beberapa tahun silam masih dianjurkan untuk memakai Amfoterisin B. Voriconazole relatif lebih aman karena toleransi yang lebih baik dibanding Amfoterisin. Namun untuk keadaan mukormikosis, amfoterisin tetap diberikan karena Voriconazole tidak efektif terhadap mucor. Pasien yang sudah resisten dengan Voriconazole dapat diberikan Caspofungin. Derivat azol dan amfoterisin tidak direkomendasikan untuk dikombinasi karena azol akan menghambat absorpsi amfoterisin. Namun kombinasi sesama azol (mis. Voriconazole dengan Itraconazole atau Fluconazole) layak diberikan untuk pasien yang sudah resisten dengan antijamur. Pemberian antijamur ini akan lebih efektif jika dibarengi dengan perbaikan status imunokompromais, misalnya dengan pemberian growth factor. Terapi yang tepat untuk aspergiloma ialah simtomatik, yakni mengurangi hemoptisis. Namun terapi kausal yang tepat untuk aspergiloma ialah dengan pembedahan. Dengan lobektomi, kavitas yang berisi aspergiloma dapat dihilangkan dengan mudah. Namun toleransi pembedahan toraks sangat ketat sehingga sering ditunda karena fungsi paru penderita sudah jauh berkurang. Akhirnya, untuk aspergiloma pun digunakan itraconazole oral dengan angka kesembuhan hingga 60%. Tindakan lain yang dapat dilakukan ialah embolisasi arteri bronkial untuk mencegah hemoptisis yang terlalu masif, namun memerlukan keahlian yang sangat tinggi dari radiologis dengan panduan CT-scan karena arteri bronkial bercabang menjadi arteri spinalis, sehingga dikhawatirkan terjadi komplikasi neurologis. Penderita ABPA diobati sesuai proses penyakitnya, karena ABPA terjadi akibat proses hipersensitivitas, maka respon alergi harus dikurangi. Meskipun ABPA terjadi karena pemakaian kortikosteroid terus-menerus, namun pengobatannya juga menggunakan kortikosteroid, namun dengan oral, bukan lagi inhalasi. ABPA yang kronik memerlukan antijamur semisal itraconazole yang dapat mempercepat hilangnya infiltrat. ABPA yang berbaerngan dengan sinusitis alergik fungal memerlukan tindakan operasi jika terdapat polip obstruktif. Kadang-kadang dapat juga dibilas dengan amfoterisin untuk mempercepat peyembuhan. Pengobatan CNPA terdiri dari terapi dengan voriconazole, atau bisa juga dengan itraconazole, caspofungin, atau keluarga amfoterisin. Jika respon antijamur sangat kurang, terapi CNPA ialah dengan pembedahan paru. Pembedahan ini ditujukan untuk lesi yang terlokalisasi yang tidak respon dengan antijamur, apalagi jika telah dibarengi dengan hemoptisis dan sumbatan mukus. Secara ringkas. Aspergillus, sejenis jamur yang sporanya terdapat pada kotoran burung dan kelelawar. Spora ini dapat memasuki parenchym paru-paru bila terhirup dan menimbulkan Aspergillosis paru-paru. Penyakit tersebut bersifat primer bila tidak ada infeksi lain dan bila terjadi infeksi massal dengan spora, ini sering berhubungan dengan pekerjaan si penderita. Aspergillosis paru-paru sekunder terjadi bila si penderita sebelumnya mempunyai penyakit tbc (Tuberkulosis paru), Diabetes Mellitus, kanker paru dan pada penderita yang diberi pengobatan antibiotika serta obat kortikosteroid untuk jangka waktu lama dalam dosis tinggi. Pada penderita tbc dengan batuk darah yang sudah sembuh, kemudian terjadi lagi batuk darah, kemungkinan jamur ini ada. Pada rongent terlihat gambaran yang sangat khas berupa rongga atau lubang paru-paru dengan bola atau fungus ball yang merupakan kumpulan koloni jamur. Jika bola ini lepas, tidak memberi gejala karena tidak mengadakan infiltrasi. Tetapi jika terjadi infiltrasi, maka dinding paru-paru dan pembuluh darah rusak menimbulkan perdarahan setempat. Infeksi lain yang menimbulkan gejala ringan berupa alergi. Reaksi alergi karena inhalasi spora aspergillus ini dapat menyebabkan asma. Dapat pula menyebabkan reaksi lokal pada saluran napas sehingga menghasilkan lendir atau mukus yang banyak. Aspergillosis lain yang menyerang liang telinga disebut Otomycosis (jamur telinga), apabila menyerang permukaan kuku disebut Oncychomycosis (jamur kuku), dan bila menyerang kornea mata disebut Keratomycosis (jamur kornea mata) dan pernah di dapatkan sebagai Mycetoma atau aspergillosis berbagai alat tubuh lainnya. Beberapa species aspergillus yang tersering dianggap penyebab penyakit ialah Aspergillus Fumigatus, Aspergillus Niger dan Aspergillus Flavus Oryzae. Diagnosis dibuat dengan memeriksa sputum atau dahak penderita, sekret bronchus, sekret hidung, pus atau nanah dari sinus, kerokan kuku, kerokan kornea mata, biopsi jaringan, bahan autopsi. Untuk diagnosis pasti dengan bronkoskopi yang dapat memperkecil kemungkinan terhirupnya spora, mencuci bagian dalam paru-paru. Juga bisa dilakukan dengan biopsi yang hasilnya dapat dikultur atau dibiakkan dan dapat pula diperiksa secara Patologi Anatomi. Biopsi dapat juga dengan transforata (tusukan) hingga sampai mengarah fungus ball. Pada sediaan langsung ditemukan jamur di dalam bahan klinik sebagai hifa bersekat, bercabang dengan atau tanpa spora. Gambaran histologi menunjukkan jamur di dalam jaringan sebagai hifa bersekat, bercabang, tersusun radier menuju satu jurusan. Biakan pada medium Sabouraud membentuk koloni filamen dengan susunan conidia yang khas. Cara pemeriksaan yang lain dengan Serologi yaitu RIK (Reaksi Ikatan Komplemen) dan ID (Imunodifution test). Terapi untuk aspergillosis paru ialah larutan KJ (kalium Jodium) atau Amphotericin B secara Intra Vena. Jika ada fungus ball, pengobatan tidak sempurna karena walaupun sampai dinding tetapi jamuar yang di tengah tidak terkena. Bahkan sering harus disertai pembedahan berupa lobektomi jika terjadi batuk darah. Terapi lain dengan derivat Azoe. Prognosa penyakit ini tergantung dari macam aspergillus, stadium penyakit dan keadaan penderita. Pada aspergillosis yang menyerang kornea mata, cara infeksinya dengan trauma yaitu tusukan benda yang mengandung spora. Gambaran kliniknya dijumpai Ulcus Kornea disertai Infiltrat atau Abses dan sering disertai Hypopyon yaitu endapan sel-sel radang pada Kamera Oculi. Terapinya dengan membersihkan jaringan nekrosis pada Ulcus, pemberian Amphotericin B tetes mata dengan dosis 4 mg/ml atau Pimaricin sebagai obat tetes mata dan Econazole. Prognosa penyakit ini makin cepat diketahui dan diobati akan makin baik. Aspergillosis pada liang telinga yang menyebabkan Otomycosis, gambaran kliniknya berupa kelainan yang menyerang liang telinga bersifat subakut atau menahun. Pada permukaan tampak Hyperemia kulit liang telinga dan membrana tympani. Terdapat sisik pada kulit, kadang-kadang ada cairan bening. Keluhan terutama gatal. Untuk mendiagnosis aspergilus pada telinga ini, bahan yang diperiksa adalah kotoran telinga atau kerokan kulit liang telinga. Pada pemeriksaan langsung sediaan KOH 10% akan tampak hifa dan/atau spora, tergantung pada jamur penyebabnya. Sementara identifikasi jamur didasarkan biakan pada agar Sabouraud dalam suhu kamar. Terapi otomycosis ini dengan obat lokal antifungus, bila perlu disertai antibiotik. Jamur yang memenuhi liang telinga dikeluarkan. Infeksi Aspergillus pada kuku yang sering dikenal dengan sebutan Onychomycosis atau Tinea Unguium (Ring Worm of the nail) terjadi secara kontak langsung. Gambaran kliniknya berupa kelainan yang mengenai satu kuku atau lebih. Permukaan kuku tidak rata. Kuku menjadi rapuh atau keras. Kelainan dapat mulai dari proksimal atau distal tergantung pada penyebabnya. Dapat disertai paronychia dan diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan memeriksa bahan kerokan kuku dan kerokan di bawah kuku. Pada pemeriksaan langsung sediaan KOH 10 %, tampak jamur sebagai hifa atau spora. Jamur dapat ditentukan dengan pasti berdasarkan biakan. Pengobatan setempat dan berlangsung lama. (fn/sc/mf/il) Sumber : http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/kesehatan/22550-mengenal-aspergillus-spektrum-penyakit-infeksi-paru.html | |
0 komentar:
Posting Komentar