Jumat, 21 Januari 2011

Benarkah Indonesia Memiliki Keragaman Jenis Jamur Yang Tinggi?


 ruangberkas.com_imagesKingdom Fungi merupakan salah satu kelompok organisme yang memiliki tingkat keragaman hayati yang tinggi, dan kedua setelah insekta. Hawksworth (1991) memprediksi sekitar 1,5 juta jenis jamur eksis di planet bumi. Prediksi konservatif ini didasarkan kepada rasio inang-jamur (1:6), artinya satu tumbuhan vaskular berasosiasi dengan 6 jenis jamur yang spesifik pada tumbuhan inangnya. Sampai saat ini, hanya sekitar 7-10% (105.000-150.000 jenis) dari total perkiraan 1,5 juta jenis jamur yang telah berhasil diidentifikasi. Sayangnya, hanya sekitar 5-10% dari spesies
jamurtersebut yang berhasil diisolasi. Oleh karena itu, sebagian besar jamur masih perlu dieksplorasi, diidentifikasi, dikonservasi, dan dimanfaatkan. Prediksi 1,5 juta jenis adalah data penelitian di Inggris Raya dan Eropa, oleh karena itu Hyde (2001) mengungkapkan pentingya data dari kawasan tropis. Tingkat keragaman di kawasan tropis diprediksi lebih tinggi, walaupun hipotesis ini masih belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Sehubungan dengan itu, ada beberapa isu yang harus ditelaah lebih dalam kaitannya dengan ekplorasi ‘the missing fungi’ kawasan tropis.

‘The missing fungi’ dan kawasan yang tidak pernah/jarang dieksplorasi

Berdasarkan hasil penelitian di Hong Kong selama 10 tahun, hasilnya mengungkapkan bahwa data jumlah jenis jamur meningkat empat kali lipat dari sekitar 500 jenis menjadi 2125 jenis, dan 150 jenis di antaranya adalah jenis baru. Jumlah ini masih akan terus bertambah mengingat jumlah tersebut hasil ekplorasi hanya terhadap 10 jenis tumbuhan dari kelompok bambu dan palm saja. Informasi ini menunjukkan bahwa pada kawasan-kawasan yang tidak atau belum terekplorasi masih menyimpan keragaman jamur yang tinggi dan berpotensi mengungkap keberadaan ‘the missing fungi’ tersebut.

Kawasan seperti itu tersebar luas di daerah tropis di Indonesia, Amerika Selatan, dan sebagian Afrika. Namun, cepatnya penurunan areal hutan tropis bisa dipastikan bahwa banyak jenis dari ‘the missing fungi’ sebagai sumber daya genetik potensial yang akan hilang.

‘The missing fungi’ dan kelompok tumbuhan inang yang tidak pernah/jarang dieksplorasi.

Hasil-hasil penelitian terhadap keluarga tumbuhan seperti Arecaceae, Musaceae, Pandanaceae, Poaceae (khusunya bambu), dan Zingiberaceae menyimpan potensi sebagai habitat atau inang bagi berbagai jamur (saprobik, endofitik, atau penyakit) yang unik dan spesifik. Keluarga Arecaceae merupakan inang yang ditinggali ragam jamur yang sangat tinggi Sebanyak 240 jenis jamur berhasil diidentifikasi hanya dari 3 jenis palm, dan 95 jenis jamur itu adalah jenis baru! Index Fungorum (http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp) dan SMML fungus-host
database(http://nt.ars-grin.gov/fungaldatabases/fungushost/fungushost.cfm), menginformasikan bahwa lebih dari 2500 jenis jamur telah berhasil diidentifikasi yang inangnya keluarga Arecaceae. Sekitar 800-900 jenis jamur berasosiasi dengan Pandanaceae, sedangkan sekitar 587 jenis jamur teridentifikasi berasosiasi dengan bambu. Tingkat keragaman jenis jamur yang berasosiasi dengan tumbuhan dari keluarga Musaceae dan Zingiberaceae tidak setinggi Arecaceae. Hanya 300 jenis jamur diketahui berasosiasi dengan 37 jenis Musa, dan 170 jenis jamur yang berasosiasi dengan 80 jenis dari keluarga
Zingiberaceae.

‘The missing fungi’ dan habitat atau relung yang jarang diekplorasi

Sampai tahun 1993, dari total 288 jenis jamur yang telah diinventarisasi dari daerah perairan air tawar, hanya 11 jenis jamur yang berasal dari daerah tropis. Hasil penelitian yang intensif pada tahun 2001 di daerah perairan tawar mengidentifikasi 150 jamur jenis baru, dan lebih dari 60 jenis jamur baru juga berhasil ditemukan dari ekosistem mangrove.

Diperkirakan sekitar 20.000-50.000 jenis jamur dapat berasosiasi dengan insekta, dan 261 jenis sebagai ‘lichen fungi’ berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi hanya di Hong Kong, dimana 176 jenis di antaranya sebagai ‘new record’. Dari informasi itu menunjukkan bahwa kemungkinan masih banyak habitat-habitat yang sebenarnya berpotensi menyimpan keragaman jamur yang spesifik dan unik, tetapi belum tereksplorasi secara optimal. Dengan melihat karakteristik morfologi, genetika, dan fisiologi jamur, maka tidak menutup kemungkinan bahwa kawasan
tropismengandung keragaman jenis jamur dengan aktivitas fisiologi yang spesifik pula.

Hutan hujan tropis memiliki kekayaan tumbuhan yang tinggi dan sekaligus merupakan sumber kayu dan serasah. Jamur saprobik penghasil enzim-enzim selulase, hemiselulase, dan ligninase yang mendegradasi jaringan tumbuhan (kayu dan serasah) dan melepaskan nutrisi hasil metabolismenya kembali ke lingkungan. Kawasan ini juga dikenal mengandung banyak jenis tumbuhan endemik. Suatu pertanyaan mendasar sering muncul, apakah kelompok jamur yang mendegradasi tumbuhan mati dan serasah merupakan kelompok jamur yang unik dan spesifik? Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman hayati
jamurpendegradasi kayu atau jaringan tumbuhan yang lapuk/serasah adalah tinggi. Sekitar 68-74% jenis jamur saprobik dari serasah dua jenis tumbuhan yang berbeda di hutan tropis Queensland adalah spesifik. Lebih dari 240 jenis jamur saprobik yang berasosiasi dengan tiga jenis Licuala di hutan di Brunei adalah juga spesifik, dan data-data tersebut tidak termasuk jamur pada habitat rizhosfer (perakaran) dan daun (phylloplane). Keragaman hayati jamur (kelompok jamur saprobik) yang berasal dari inang yang kekerabatannya jauh secara filogenetik adalah tinggi, walaupun inangnya tumbuh di ekosistem
yangsama. Keseluruhan informasi tadi menunjukkan begitu besarnya potensi hutan hujan tropis sebagai ekosistem yang mengandung kekayaan jamur yang tinggi.

Jamur saprobik sering dikategorikan sebagai kelompok jamur yang tidak spesifik terhadap inangnya dan dapat tumbuh di mana saja. Akan tetapi, hasil studi keragaman jamur dari bambu-bambuan, Arecaeceae, Pandanaceae, dan Musaceae di daerah tropis menunjukkan bahwa banyak jamur saprobik ternyata unik dan spesifik terhadap inangnya, dan bahkan spesifik terhadap organ inangnya! Contohnya, keragaman jamur yang tumbuh di daun palm berbeda dengan keragaman jamur yang tumbuh di ‘rachid’ dan ‘petiol’ dari spesies palm yang sama. Ada suatu wacana hipotesis bahwa faktor
penunjangendemisitas jamur saprobik terhadap inangnya atau organ inangnya disebabkan karena perubahan ‘life mode’ dari endofit sewaktu inangnya masih hidup menjadi saprobik pada saat tumbuhan inangnya mati atau salah satu bagian organnya mati. Mayoritas dari jamur endofit diketahui spesifik terhadap inangnya karena kelompok jamur ini harus beradaptasi dengan mekanisme kekebalan tubuh tumbuhan inangnya, dan juga terlibat secara langsung dalam mekanisme kekebalan tubuh inangnya. Hipotesis ini diperkuat oleh hasil penelitian lain yang mengungkapkan beberapa marga jamur saprobik pada
palmseperti Glomerella, Ophioceras, Oxydothis, dan Pestalotiopsis juga merupakan endofit pada palm Trachycarpus fortunei.

‘The missing fungi’: Apakah Indonesia memiliki jawabannya?

Mengingat Indonesia mempunyai sekitar 10% dari total flora di planet bumi (sekitar 30.000-40.000 jenis tumbuhan), diperkirakan Indonesia memiliki potensi kekayaan hayati jamur sekitar 180.000-240.000 jenis (12-16% dari total perkiraan 1,5 juta jenis). Sayangnya, hanya kurang dari 5.000 jenis saja yang sudah teridentifikasi dan terinventarisasi sampai saat ini. Dengan adanya informasi tadi maka muncul pertanyaan: “Apakah kita bisa mengatakan bahwa Indonesia kaya akan keragaman hayati jamur (atau mikroba pada umumnya)?” Sebagai peneliti, sudah menjadi kewajiban
untukmenjawabnya dengan data-data ilmiah dan bukan dengan retorika atau perkiraan. Kelompok-kelompok jamur seperti jamur pada tumbuhan hidup, jamur yang berasosiasi dengan eksudat tumbuhan, jamur yang berasosiasi dengan tumbuhan mati, jamur yang berasosiasi dengan jamur dan mikroorganisme lainnya, jamur yang berasosiasi dengan vertebrata, jamur yang berasosiasi dengan invertebrata, jamur di perairan tawar, air laut, lingkungan ekstrim, jamur pada kotoran hewan, dan lain sebagainya, masih menunggu untuk dieksplorasi.

Mengapa jumlah jenis jamur yang teridentifikasi dan terinventarisasi di Indonesia sangat kecil padahal kita sering beranggapan bahwa Indonesia memiliki kekayaan jamur (bahkan mikroba) yang tinggi? Banyak faktor yang menyebabkan lemahnya inventarisasi keragaman hayati jamur (termasuk mikroba lainnya) di Indonesia. Faktor-faktor ini termasuk pada segi sumber daya manusia (taksonomist, mikrobiologist, mikologist), fasilitas penunjang, dan referensi. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: Berapa jumlah peneliti jamur di Indonesia? Sampai sejauh mana para peneliti yang sudah eksis danberhubungan
dengan bidang ini dalam mengeksplorasi berbagai macam habitat unik yang ada di Indonesia? Kalau dibandingkan dengan posisi jamur di tanah yang hanya mengandung sekitar 5% dari total jamur di planet bumi ini, maka jamur yang berada di tumbuhan sudah saatnya mendapat perhatian.

Berdasarkan informasi ini, sudah sangat jelas bahwa diperlukan suatu tindakan nyata dalam mengeksplorasi dan menginventarisasi jamur di berbagai habitat di Indonesia jika kita masih memiliki harapan atau tujuan untuk melakukan preservasi kelompok organisme ini untuk keperluan studi lebih lanjut untuk dimanfaatkan potensinya (Tabel 1). Harapan ini bisa terwujud jika ditopang dengan usaha yang sungguh-sungguh disertai penguatan sumber daya manusia, fasilitas penelitian, dan referensi. Satu hal yang perlu diingatkan bahwa tidak ada taksonomist (khususnya
mikrobiologist-mikologist-baketriologist)yang menguasai semua taxa! Kalau ini disadari, mudah-mudahan dalam kurun waktu 10 tahun yang akan datang, koleksi jamur (termasuk mikroba) di Puslit Biologi-LIPI akan benar-benar menjadi referensi koleksi di Indonesia, bahkan inetrnasional.

Sumber : http://www.biologi.lipi.go.id/bio_indonesia/mTemplate.php?h=3&id_berita=160

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Tutorial Yang Bermanfaat. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan